Kamis, 11 Juni 2020

Konsep “Law As a Tool Of Social Engineering” dalam Penanganan COVID-19



Konsep “Law As a Tool Of Social Engineering” dalam Penanganan COVID-19

            Penanganan COVID-19 memerlukan langkah yang cepat dan tepat dalam upayanya memutus rantai pandemi COVID-19. Oleh karena hal tersebut Pemerintah yang dalam hal ini Presiden Joko Widodo memerintahkan untuk peningkatan penegakan hukum sebagai bentuk pendisiplinan masyarakat saat pandemi COVID-19. Hingga kemudian pemerintah tidak memilih opsi Lockdown karena beberapa alasan ekonomi, kedisiplinan dan beberapa lain hal, namun pemerintah memilih opsi PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) sebagai langkah kebijakan penanganan COVID-19 yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan COVID-19 ( Lembaran Negara Republik Indonesia  Tahun 2020 Nomor 91, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6487), yang kemudian diatur lebih lanjut pada Permenkes 9 Tahun 2020 tentang Pedoman PSBB dalam rangka Percepatan penanganan COVID-19. Definisi PSBB dalam Permenkes 9 Tahun 2020 yaitu pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).

            Sudah menjadi tanggung jawab pemerintah untuk memastikan keselamatan dan keamanan seluruh rakyat Indonesia dari pandemi COVID-19 ini, dan diperlukan kesadaran pula dari diri pribadi masing-masing masyarakat Indonesia agar terhindar dari serangan virus mematikan ini. Namun kenyataannya masih banyak masyarakat yang memiliki kesadaran akan hal tersebut. Sehingga pemerintah memiliki peran penting karena memiliki legitimasi untuk mengeluarkan hukum sebagai bentuk upaya pendisiplinan serta bentuk penyelamatan masyarakat itu sendiri dari pandemi virus ini. Karena memang fungsi utama hukum adalah untuk melindungi kepentingan dari masyarakat. Namun menurut Rescoe Pound fungsi utama hukum adalah juga sebagai bentuk rekayasa sosial. Hukum tidak hanya dibuat untuk kepentingan masyarakat namun juga dibentuk sebagai sarana social control atau kontrol sosial yang pada implementasinya berorientasi pada arah perubahan yang diinginkan. Sehingga konsep yang dikemukakan Rescoe Pound yaitu “Law as a Tool Of Social Engineering” (Pound, 1997) merupakan sarana yang ditujukan untuk merubah atau sarana pembaharuan pola perilaku dan nilai-nilai sosial dalam masyarakat menuju arah pembaharuan atau perubahan yang telah disepakati.

            Apabila mengacu pada konsep Rescoe Pound tersebut PSBB yang diterapkan pemerintah sebagai upaya percepatan penanganan pandemi COVID-19 ini merupakan bentuk kontrol sosial kepada masyarakat dengan membatasi berbagai kegiatan tertentu yang biasanya dilaksanakan secara normal namun pada saat diberlakukannya PSBB ini harus mentaati protokol dan aturan yang berlaku, hingga ada beberapa kegiatan yang deberhentikan pada saat PSBB diberlakukan. Hal ini merupakan bentuk rekayasa sosial dimana agar masyarakat tidak melakukan berbagai kegiatan yang membuat kerumunan yang sangat dimungkinkan memicu terjadinya penyebaran COVID-19. Kemudian dari hukum sebagai bentuk rekayasa sosial tersebut akan mengubah perilaku dan nilai-nilai sosial di masyarakat yang sebelum adanya pandemi virus ini boleh melaksanakan aktivitas kerumunan namun dengan adanya pandemi virus ini dan diterapkannya hukum sebagai rekayasa sosial yang dalam hal ini PSBB, masyarakat harus berjaga jarak dengan orang lain (physical distancing) serta mengurangi berbagai aktivitas diluar rumah dan sebagainya. Salahsatu perubahan nilai-nilai sosial yang dialami mahasiswa salahsatunya aktivitas perkuliahan yang dilaksanakan melalui daring menggunakan berbagai aplikasi video call, juga aktivitas Seminar yang dilarang dilaksanakan sekarang diganti istilahnya untuk menghadapi kondisi ini menjadi Webinar (Web Seminar).

            Namun hukum sebagai sarana rekayasa sosial tersebut memiliki beberapa masalah dan hambatan yang dinamakan Gunnar Myrdal (Myrdal, 1970) sebagai soft development, dimana hukum yang dibentuk sebagai sarana rekayasa sosial tersebut tidak efektif karena ada bebrapa faktor yang menghambat dan menghalangi kelangsungan dari keberlakuan hukum tersebut. Beberapa faktor diantaranya yaitu berasal dari pembentuk hukum, penegak hukum, golongan dalam masyarakat dan lain-lain. Dalam pelaksanaan PSBB masih banyak evaluasi yang sangat perlu diperhatikan dalam pelaksanaannya sebagai penanganan pandemi COVID-19 di Indonesia. Contohnya saja di Surabaya yang sudah menerapkan PSBB dari 28 April 2020 sampai saat ini tanggal 8 Juni 2020 jumlah pelanggar PSBB mencapai 21.380 pelanggaran (m.detik.com/8 Juni 2020). Dari tidak menggunakan sarung tangan , masker serta tidak menerapkan phisical distancing. Hal tersebut menandakan bahwa penerapan hukum sebagai sarana rekayasa sosial masih terdapat halangan dan hambatan sehingga perlu dilakukan identifikasi karena hambatan-hambatan tersebut menjadi sebuah kelemahan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah dirumuskan dan disepakati melalui penerapan hukum.

 

Daftar Pustaka

 

Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan COVID-19

Permenkes 9 Tahun 2020 tentang Pedoman PSBB dalam rangka Percepatan penanganan COVID-19.

Myrdal, G. (1970). The Challenge of World Poverty. New York: Vintage Books.

Pound, R. (1997). Social Control Through Law. New Jersey: New Brunswick.

https://m.detik.com/news/berita-jawa-timur/d-5045065/pelanggar-psbb-surabaya-raya-capai-21380-terbanyak-tak-pakai-sarung-tangan